Dalam sejarah perekonomian dunia, tak sedikit negara yang mengalami masa-masa kelam masuk dan terperangkap dalam resesi. Krisis ekonomi yang menghantam negara-negara Uni Eropa pada tahun 2008-2009 mengakibatkan setidaknya 17 negara di kawasan tersebut memasuki masa resesi, beberapa di antaranya adalah Yunani, Perancis, Portugal, Republik Siprus, Spanyol, Irlandia, dan Italia.

Pada tahun 2010, kelesuan ekonomi melanda Thailand. Negara yang dikenal dengan julukan Negeri Gajah Putih mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut. Hal ini disebabkan produk domestik bruto negara tersebut yang terus merosot.

Tak hanya menghantam negara berkembang, resesi ekonomi juga pernah dialami oleh Rusia yang dikenal sebagai negara super power tandingan Amerika Serikat sepanjang tahun 2015.

Resesi di negara ini dipicu oleh pencapaian produk domestik bruto yang rendah sebab pasar modal dunia menolak perusahaan-perusahaan dari Rusia. Akibatnya, tingkat inflasi yang cukup tinggi bahkan negara mengalami defisit anggaran.

Baca Juga: Bersiap Hadapi Resesi Ekonomi

Dari ilustrasi di atas tampak bahwa resesi ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor. Tak hanya negara-negara kecil yang miskin dan sedang berkembang saja yang terdampak atas resesi ekonomi, tetapi juga negara besar yang secara ekonomi telah maju.

Bahkan melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, banyak pengamat ekonomi yang memprediksi bahwa Indonesia juga sedang mengarah pada resesi. Nilai impor yang lebih besar dibandingkan ekspor, harga-harga barang komoditas yang semakin mahal, biaya listrik, bahan bakar minyak, dan pajak yang juga tak mau kalah melonjak tajam. Indikator-indikator inilah yang dijadikan sebagai dasar prediksi bahwa Indonesia telah mulai memasuki gerbang resesi ekonomi.
Selain itu, tingkat daya beli masyarakat Indonesia saat ini juga menurun.

Meski resesi di Indonesia ini masih sebatas prediksi dan menjadi kontroversi. Di satu sisi pemerintah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tetap stabil di level 5% dan kondisi perekonomian Indonesia masih baik-baik saja, meski utang luar negeri melonjak tajam. Sementara di sisi lain, data dan situasi nyata di lapangan tidaklah baik-baik saja. Masyarakat di berbagai daerah mengeluhkan biaya hidup semakin mahal.

Lantas, apa yang dijadikan sebagai indikator kapan suatu negara memasuki masa resesi ekonomi? Suatu negara dikatakan masuk masa resesi, apabila muncul beberapa indikator berikut.

Terjadi ketidakseimbangan antara produksi dengan konsumsi

Ekonomi tak jauh-jauh dari produksi dan konsumsi. Keseimbangan diantara keduanya menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Di saat produksi dan konsumsi tidak seimbang, maka akan terjadi masalah dalam siklus ekonomi.

Apabila tingginya produksi tidak diikuti dengan tingginya konsumsi, akan berakibat pada penumpukan stok persediaan barang. Sebaliknya, jika produksi rendah sedang konsumsi tinggi maka kebutuhan dalam negeri tidak akan mencukupi sehingga harus dilakukan impor. Hal ini akan berakibat pada penurunan laba perusahaan sehingga berpengaruh pada lemahnya pasar modal.

Pertumbuhan ekonomi lambat bahkan merosot selama dua kuartal terturut-turut

Dalam perekonomian global, pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran untuk menentukan baik buruknya kondisi ekonomi suatu negara. Jika pertumbuhan ekonomi suatu mengalami kenaikan secara signifikan, artinya negara tersebut dalam kondisi ekonomi yang kuat.

Demikian pula sebaliknya. Nah, pertumbuhan ekonomi ini menggunakan acuan produk domestik bruto yang merupakan hasil penjumlahan dari konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor yang dikurangi impor. Jika produk domestik bruto mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dapat dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan mengalami kelesuan atau resesi.

Nilai impor jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor

Dalam perdagangan internasional, kegiatan impor dan ekspor sangatlah wajar. Selain untuk menjalin kerja sama ekonomi, tujuan dari impor dan ekspor salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan penduduk di kedua negara.

Negara yang kekurangan komoditas karena tidak bisa memproduksi sendiri, bisa mengimpor dari negara lain. Sebaliknya, negara yang memiliki kelebihan produksi bisa mengekspor ke negara yang membutuhkan komoditas tersebut. Namun, jika impor dengan ekspor tidak stabil bisa berdampak pada perekonomian negara. Nilai impor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor berisiko pada defisit anggaran negara.

Terjadi inflasi atau deflasi yang tinggi

Untuk alasan dan kepentingan tertentu, inflasi memang diperlukan. Namun, inflasi yang terlalu tinggi justru mempersulit kondisi ekonomi, karena harga-harga komoditas melonjak sehingga tak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat, utamanya yang kelas ekonominya menengah ke bawah.

Kondisi ekonomi akan semakin parah apabila inflasi tidak diikuti dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Tak hanya inflasi yang berdampak pada resesi, tetapi juga deflasi. Harga-harga komoditas yang menurun drastis bisa mempengaruhi tingkat pendapatan dan laba perusahaan yang rendah. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutup sehingga volume produksi rendah.

Tingkat pengangguran tinggi

Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian. Jika suatu negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, maka tingkat penggangguran di negara tersebut jelas akan tinggi. Risikonya, daya beli rendah bahkan memicu tindak kriminal guna memenuhi kebutuhan hidup.

Sekuat apapun perekonomian suatu negara, bisa jadi memiliki titik lemah. Ketika titik lemah tersebut terhantam, mau tidak mau atau siap tidak siap negara tersebut akan mengalami kelesuan dan kemerosotan yang disebut dengan resesi ekonomi.

Sebab itulah, penting bagi setiap negara memantau laju pertumbuhan ekonominya per kuartal, agar dapat segera diambil kebijakan ekonomi yang mampu mengantisipasi bahkan mengatasi jika ditemukan adanya masalah.


Artikel blog ini ditulis oleh Koperasi Namastra, koperasi digital pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Kami menyediakan pembiayaan yang diberikan kepada kelompok wanita produktif yang tergabung dalam Kelompok Mandiri Sejahtera (KMS) yang akan digunakan untuk modal usaha dan membuka opsi investasi dengan pembagian profit yang jelas bersama Koperasi Namastra.

Koperasi Namastra secara resmi terdaftar dan diawasi oleh Dinas Koperasi